Tidak bisa ditampik jika Taiwan menjadi salah satu situs penting untuk mengartikulasikan bagaimana dangdut hidup dan berkembang bersama masyarakat. Menurut penelusuran Dangdut Studies Center, Taiwan sudah menjadi salah satu lokasi di luar negeri dengan kuantitas pentas dangdut yang cukup tinggi. Adapun beberapa penampilan dari biduanita-biduan dangdut tanah air, di antaranya adalah Inul Daratista yang pentas pada tahun 2011 dan 2014 di Daan Park, Taipei; Siti Badriah yang pentas pada tahun 2013, 2016, dan 2018; Zaskia Gotik yang pentas pada tahun 2012 di Taoyuan City dan tahun 2019 di Banqiao, New Taipei; Diana Sastra yang pentas pada tahun 2019; Lesti Kejora yang pentas pada tahun 2018; Fildan Rahayu yang pentas pada tahun 2019; Dian Anic yang pentas pada tahun 2020; dan tentu masih banyak lainnya.
Dari panggung-panggung tersebut, lantas tersemat pertanyaan, yakni: apa yang membuat kuantitas pentas dangdut cukup tinggi di Taiwan? Apa yang membuat musik dangdut digemari di Taiwan? Jika kita melihat panggung dangdut di Taiwan, maka sudah barang tentu warga Indonesia lah yang menjadi alasan utama—terkhusus Pekerja Migran Indonesia ataupun mereka yang tengah bersekolah atau telah menetap di sana. Namun dari hal tersebut, saya sekaligus sadar jika dangdut di Taiwan bukan sekadar panggung musik yang dilaksanakan sesekali ketika hari raya tertentu saja. Dangdut di Taiwan bukan hanya praktik menanggap (atau mengundang) biduanita dan Orkes Melayu dari Indonesia untuk tampil di sana; melainkan praktik yang lebih kompleks, di mana terdapat partisipasi aktif dari warga pada musik itu sendiri. Saya menyebut partisipasi aktif karena para Pekerja Migran Indonesia tidak hanya mengonsumsi, melainkan turut memproduksi yakni dengan cara membentuk Orkes Melayu atau Organ Tunggal, menjadi biduanita, bahkan membangun ekosistem dangdut di Taiwan.
Hal yang tidak kalah mengejutkan, tingginya atensi tersebut memunculkan beberapa lagu yang memang disengaja untuk para pekerja di Taiwan, seperti lagu “Taiwan Ninggal Janji” dan “Taiwan Nagih Janji” karangan dari Paijo Londo, atau “Rangda Taiwan” karangan dari Tanto Lala PO. Narasi dari ketiga lagu tersebut didominasi persoalan yang paling dekat untuk mereka, yakni cinta. Isi dari lagu tersebut mengenai cinta jarak jauh dengan peliknya hubungan; pengkhianatan ketika menjalani hubungan cinta jarak jauh; rasa rindu tidak bertemu; dan narasi patah hati lainnya. Namun saya semakin tercengang dengan sebuah kenyataan, jika Orkes Melayu hingga biduan di Taiwan turut aktif memproduksi lagu mereka sendiri. Bagi saya ini sangat menarik, pasalnya lirik lagu yang mereka buat sudah barang tentu memperlihatkan bagaimana ekspresi mereka. Ekspresi Pekerja Migran Indonesia yang di satu sisi harus bekerja di negeri orang, tetapi di sisi lain mereka memiliki kehidupan personal.
Hal tersebut tentu membuat saya semakin sadar jika praktik dangdut di Taiwan menjadi penting untuk ditatap. Pasalnya, pembahasan bukan hanya persoalan judul lagu apa yang dimainkan, tetapi soal siapa, apa, bagaimana, dan mengapa dangdut terus dilakukan. Tidak hanya itu, bagi saya membahas praktik dangdut di Taiwan dapat memperlihatkan bahwa Pekerja Migran Indonesia bukan sekadar angka, melainkan individu yang memiliki perasaan dan sama-sama perlu diberikan perlindungan, dukungan, bahkan penghargaan lebih dari sebagaimana pahlawan [devisa] negara.
Bukan Soal Go International tetapi Soal Ekspresi Personal
Pentas di luar negeri bukanlah isu yang baru untuk musik dangdut. Hal tersebut sudah berlangsung sejak era Rhoma Irama.(註1) Raja Dangdut sudah mengawali pelbagai pencapaian yang berkenaan dengan dangdut dan luar negeri sejak tahun 1980-an. Mulai dari pentas di Filipina pada Desember 1984 dalam acara ASEAN Cultural Meeting. Bahkan dangdut dianggap mewakili musik khas negara ASEAN (Shofan, 2014:85); Pentas di Kuala Lumpur, Malaysia pada Agustus 1985 dalam acara Majalah Asia Week edisi XVI. Pada momen tersebut, Rhoma Irama didapuk sebagai raja musik Asia Tenggara; Pengakuan dari Jepang pada tahun 1994 karena Life Record Jepang pernah merilis 200-an lagu karya Rhoma Irama dalam bahasa Inggris dan Jepang (2014:85); Pentas di Singapura pada November 2007 sekaligus menerima penghargaan sebagai “The South East Asia Superstar Legend”; dan masih banyak lainnya. Tidak hanya Rhoma Irama, beberapa penyanyi juga pernah pentas di luar negeri, mulai dari Cici Paramida, Inul Daratista, Via Vallen, dan lain sebagainya.
Alih-alih berhenti, pertemuan dangdut dan luar negeri juga berlangsung hingga kini, semisal dengan acara D’Academy Asia yang dipentaskan oleh stasiun televisi Indosiar. Pada acara tersebut, biduan dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Timur Leste, dan Filipina berkompetisi satu sama lain menyanyikan dangdut. Kendati kita sudah bisa sama-sama menebak negara mana yang akan memenangkan kompetisi tersebut, tetapi acara ini merawat anggapan jika dangdut harus go international. Selain D’Academy Asia, interaksi dangdut juga terjadi pada program lainnya, semisal Dangdut in America Project. Program kompetisi bernyanyi dangdut—berbahasa Indonesia—bagi warga Amerika. Walau saya belum dapat melihat motif go international, jika hanya dengan melihat bule bernyanyi dangdut berbahasa Indonesia. Kembali pada soal pertemuan dangdut dan mancanegara, dapat kita lihat jika telah berlangsung lama relasi antar keduanya. Namun jika ditilik lebih lanjut, semua pertemuan di atas adalah program dengan intensi tertentu, yakni misi diplomasi, agenda politik, ataupun komodifikasi. Sementara itu, bagaimana dengan dangdut di Taiwan?
Tentu menerapkan bingkai go international kepada para Orkes Melayu atau biduanita di Taiwan boleh-boleh saja dilakukan. Namun saya memilih tidak melakukannya, paling tidak di artikel ini. Pasalnya, apakah Orkes Melayu atau Biduanita di Taiwan memang bercita-cita demikian? Atau jangan-jangan orang di luar mereka lah yang memaksakan bingkai tersebut kepada para pekerja migran? Bagi saya, suara pekerja migran lebih penting daripada utopia semacam itu. Jangan-jangan pentas dangdut di Taiwan oleh para pekerja migran memang bukan diniatkan sebagai panggung dengan agenda yang muluk-muluk, melainkan sebagai medium ekspresi mereka. Sebatas medium hiburan mereka di tengah kejenuhan kerja.
Pun saya semakin yakin dengan pernyataan dari diskusi “Dangdut di Perantauan” yang dihelat oleh Trans/Voices Project Indonesia –Taiwan dan The Cultural Taiwan Foundation pada 22 Agustus 2021, di mana O.M. New Ramesta, Yogi Music, dan Ambar Oti sama-sama menyimpulkan jika dangdut adalah cara mereka melepas penat, baik untuk diri sendiri maupun pekerja migran lainnya. Bahkan Ambar Oti dengan malu-malu mengidentifikasi dirinya sebagai biduanita; Yanu dari O.M. New Ramesta pun juga mengatakan “Ya, tapi kami mainnya apa adanya;”(註2) serta Yogi dengan Organ Tunggalnya juga berpendapat tidak jauh berbeda. Dari gelagat tersebut, lantas saya mengartikan jika pentas dangdut di Taiwan bukan dimaksudkan sebagai komoditas yang diperdagangkan untuk warga negara lain, melainkan diproduksi dan dikonsumsi untuk kesenangan sendiri, yakni oleh sesama pekerja, sesama Indonesia.
Bertolok dari paparan di atas,(註3) maka kenyataan yang harus diterima adalah tidak semua dangdut di luar negeri merupakan upaya go international. Lebih lanjut kita perlu menilik ulang, untuk siapa intensi dan atensi pertunjukan dimaksudkan. Jika dangdut di Taiwan dipentaskan untuk warga Indonesia di sana, maka go international bukan isu yang perlu ditebalkan untuk studi kasus ini. Saya justru melihat jika pembahasan yang lebih perlu diartikulasikan adalah bagaimana dangdut menjadi ekspresi personal dari Pekerja Migran Indonesia. Apalagi medium ekspresi yang semula personal ini bertumbuh menjadi medium ekspresi publik dengan fungsi melepas rasa penat, lelah, ataupun patah hati yang sama-sama dialami oleh pekerja migran.
Tidak hanya itu, isu lain yang cukup penting adalah dangdut sebagai medium solidaritas. Bagi saya hal ini cukup penting di mana dengan dangdut membuat para Pekerja Migran Indonesia tidaklah merasa sendirian. Isu merasa sendirian ini menjadi penting diartikulasikan lebih, mengingat ada para Pekerja Migran Indonesia tinggal di satu lokasi yang sama dengan jumlah yang banyak. Namun apakah tinggal dalam rumah susun yang sama menjamin para Pekerja Migran merasa tidak sendirian? Fisik mereka memang tinggal bertetangga, tetapi bagaimana dengan hati dan jiwa mereka? Bukankah mereka lazim kelelahan setelah pulang bekerja? Apakah mereka masih punya waktu untuk begadang dan mengikhlaskan waktu istirahat mereka untuk sekadar ngobrol dengan konsekuensi kantuk atau sakit di kemudian hari? Apakah mereka dapat leluasa mencurahkan hati ketika putus cinta karena menjalani cinta jarak jauh kepada tetangganya? Saya rasa itu dapat terjadi tetapi akan sulit jika melihat konteks mereka di Taiwan adalah bekerja dengan satuan waktu yang tegas, bukan bersantai.
Atas dasar inilah saya melihat panggung dangdut menjadi situs yang penting untuk para pekerja migran. Dengan logika itulah kita dapat memahami alasan mengapa panggung dangdut di Taiwan selalu ramai oleh penonton yang didominasi oleh Pekerja Migran Indonesia. Pun karena alasan tersebutlah mereka rela berdesakan menonton dangdut bersama pekerja migran lainnya. Apalagi pentas dangdut lazimnya digelar di hari yang strategis, biasanya ketika libur atau hari raya. Alhasil pentas dangdut menjadi tindakan di luar kebiasaan (extraordinary) dari waktu kerja yang ditentukan pada lokasi, hari, tanggal, dan jam yang spesifik. Dengan begitu, Pekerja Migran Indonesia dapat sama-sama mengakses panggung tanpa bayang-bayang beban kerja. Oleh karena panggung dangdut, mereka juga sama-sama tahu akan ada tetangga—yang mungkin selama ini hanya bertegur sapa—, atau pekerja migran lain yang tidak mereka kenal juga akan datang ke panggung untuk melepaskan kepenatan dan berjoget laiknya tiada hari esok. Loss, ! Pada level yang berbeda, saya menduga jika dangdut di Taiwan telah melampaui fungsinya sebagai medium ekspresi dan solidaritas, yakni medium katarsis(註4) (penyadaran, pelepasan, “pembebasan”).
Resiliensi Pekerja Migran Melalui Dangdut
Saya memang tidak memiliki data akan sejarah kemunculan Orkes Melayu lokal di Taiwan, tetapi saya memiliki dugaan akan alasan kemunculannya. Pasalnya pola ini serupa dengan tipe terbentuknya Orkes Melayu di daerah—di luar Jakarta, Deli, ataupun Surabaya—, di mana daya kreativitas lokal muncul untuk memuaskan hasrat akan hiburan masyarakat setempat yang harus menunggu Orkes Melayu, biduan, dan biduanita tanah air datang ke kota mereka dalam waktu yang lama. Atas dasar itulah muncul banyak Orkes Melayu baru atau orkes dengan latar belakang Orkes Gambus atau orkes sejenis yang bermigrasi ke dangdut (lihat Shabab, 2004:26). Lazimnya Orkes Melayu tersebut menggunakan nama yang menyerupai role model mereka, semisal Soneta Group. Maka kita dapat menemui pelbagai nama serupa seperti: O.M. Sonata, O.M. Sontana, O.M. Monata, O.M. Ronata, dan lain sebagainya. Bahkan di beberapa kesempatan, mereka juga mengemas figur yang disengajakan semirip mungkin dengan Rhoma Irama. Majalah Tempo sempat mencatat salah satu keberadaannya, yakni Nano Romanza dari O.M. Rolista di Indramayu (1984:32). Dari hal tersebut, saya merasa siasat di atas adalah bentuk partisipasi aktif dari masyarakat lokal dalam mengakses yang tidak dapat mereka jangkau. Menciptakan peluang lebih baik dari menunggu tanpa kepastian, bukan?
Lantas apakah praktik dangdut di Taiwan berlaku serupa? Jika kita letakkan hipotesis saya pada dangdut di Taiwan, maka kemunculan mereka disebabkan oleh Orkes Melayu idola dan biduan atau biduanita tercinta yang tidak dapat setiap waktu datang ke Taiwan untuk menghibur mereka. Selain karena ihwal jarak, tentu isu pembiayaan juga menjadi faktor lain yang tidak kalah penting. Bayangkan saja jika mengundang Orkes Melayu dan biduan yang berjumlah lebih dari 30 orang, maka para panitia tentu perlu menyiapkan dana penerbangan, akomodasi, hingga biaya jasa untuk mereka yang tentu berlipat ganda. Belum lagi pembiayaan sewa tempat dan sound system. Kendati demikian, hal tersebut dapat saja dilakukan walau kurang strategis jika digunakan secara terus menerus. Alhasil saya menduga cikal bakal Orkes Melayu di Taiwan diawali dari para pekerja migran yang memiliki pengalaman bermusik. Mereka berkumpul dan membentuk Orkes Melayu untuk memenuhi hasrat akan hiburan dari dan untuk kelompok terkecil, yakni diri sendiri, tetangga, serta komunitas. Pun hal ini diartikulasikan oleh Yogi yang lazim bermain Organ Tunggal, di mana ia kerap main di tempat tinggalnya, bahkan melakukan live streaming untuk kawan-kawannya.(註5) Perlahan mereka dikenal dan mendapatkan popularitasnya.
Mengenai para Orkes Melayu, Organ Tunggal, dan biduan yang berangsur dikenal secara meluas itu tentu soal lain, tetapi hal yang perlu diingat adalah alasan mereka membentuk orkes adalah niat menyiasati realitas dengan cara bermain-main (playing). Kata bermain-main atau playing di sini saya pinjam dari pemikir budaya, Johan Huizinga yang menuliskan buku dengan tajuk Homo Ludens: Essai sur la Fonction Sociale du Jeu. Ia mengcounter kategorisasi tegas bahwa manusia adalah homo sapiens (manusia berpikir) atau homo faber (manusia bekerja). Bagi Huizinga, bermain bukan hanya sebagai suatu tahap dalam proses pertumbuhan manusia. Bermain adalah hal yang permanen di setiap tahap hidup manusia, bahkan untuk pelbagai kontekstual manusia, seperti politik, bisnis, seni, dan seterusnya. Sebagai manusia yang bermain, ada pun beberapa hal penting yang terkandung di dalamnya, yakni: kebebasan; berbeda dari kehidupan nyata; terjadi di tempat dan waktu yang khusus; berlangsung menurut aturan tertentu; autotelic atau mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri; serta jaringan dan ikatan emosional yang kuat (Huizinga, 1988). Saya rasa, berdangdut ria di Taiwan telah membayar lunas semua prasyarat tersebut.
Alhasil asas bermain-main inilah yang dapat melampaui persoalan waktu dan biaya yang harus dikeluarkan oleh mereka. Maka pertanyaan, “bagaimana teman-teman Pekerja Migran Indonesia mengatur waktu untuk latihan dan pentas?” atau “bagaimana teman-teman Pekerja Migran Indonesia mengelola uang untuk keperluan dangdut, sementara mereka harus menyimpan dan mengirim uang untuk keluarga di rumah?” dapat terurai, karena dangdut sudah melampaui fungsinya sebagai medium ekspresi diri, melainkan sebagai fungsi katarsis, pelepasan emosi, keluh kesah, penat, hingga kejengahan dalam bekerja dengan cara bermain-main. Namun perlu diingat, bermain-main bukan mempermainkan atau tidak memandang serius suatu hal. Jika Anda berpikir demikian maka Anda salah kaprah. Bermain-main dalam konteks ini dapat diartikan lebih sebagai cara mereka bersiasat dengan kehidupan yang serba terbatas. Bersiasat adalah tanda kebertahanan (resilience). Kebertahanan (resilience) dari pekerja migran ini dapat kita lihat dari bagaimana mereka terus bermain-main (playing) dengan dangdut. Lebih lanjut, bagaimana keberhasilan sikap bermain-main yang mereka lakukan dapat dilihat dari bagaimana mereka membentuk iklim yang kokoh, walau tersimpan kerentanan (vulnerable) sekaligus.
Kekokohan tersebut dapat dilihat dari bagaimana perangkat dangdut di Taiwan, seperti Orkes Melayu, Organ Tunggal, Biduanita dan Biduan, Basecamp Dangdut, dan penonton dangdut terbentuk. Dari catatan yang dimiliki Dangdut Studies Center—tentu dengan bantuan dari Wu Ting Kuan (a.k.a Sima)—terdapat beberapa Orkes Melayu di Taiwan, seperti O.M. New Ramesta, O.M. Redista, dan lain sebagainya. Mereka dapat saya identifikasi sebagai Orkes Melayu karena instrumen yang digunakan lengkap, seperti adanya kendang, keyboard, gitar rhytm, gitar melodi, bass, drum, suling atau alat tiup lainnya. Jika Anda bertanya dari mana alat tersebut mereka dapatkan? Maka jawabannya adalah dari hasil tabungan mereka atau uang yang disisihkan dari gaji pemain selama bekerja. Oleh karena alat musik yang lengkap, maka musik menjadi saling bergantung sama lain, tidak didominasi oleh alat musik tertentu. Hal ini yang membedakan organ tunggal dengan Orkes Melayu. Kendati demikian Orkes Melayu di Taiwan memiliki kerentanan usia. Di mana usia Orkes akan tetap berlanjut atau tutup usia didasarkan pada usia kontrak para pekerja. Untuk menyiasatinya, ada orkes yang menggunakan sistem regenerasi. Di mana anggota yang kehabisan kontrak akan digantikan oleh anggota yang baru. Semisal O.M. New Ramesta yang sudah bongkar pasang anggota sebanyak empat sampai lima kali. Namun tidak semua bernasib sama, karena lebih banyak Orkes Melayu yang tinggal nama sepeninggalan pemain yang habis kontrak kerja.
Tidak hanya Orkes, di Taiwan juga terdapat Organ Tunggal, seperti Elsa Nada, Yogi Music, Kaymar Music, New Buana Music, Sultan Musik, dan lain sebagainya. Salah satu cara yang menandakan sebuah kelompok sebagai Orkes Melayu atau organ tunggal adalah jumlah personel. Lazimnya Organ Tunggal dikenal dengan pemain tunggal yang memainkan organ atau keyboard saja. Namun seiring berjalannya waktu, Organ Tunggal tidak hanya berformat tunggal, tetapi bertambah pemain, seperti gitar dan kendang. Di Jawa Timur, format ini dinamai Organ Tunggal Plus. Kendati berformat organ tunggal plus, dominasi musik tetap berada di organ atau keyboard. Organ tunggal menggunakan kecanggihan teknologi di Keyboard, seperti midi, sampling bunyi, ataupun minus one. Jika Anda bertanya dari mana mereka memiliki alat musik seperti itu? Maka mereka membelinya dengan menyisihkan gaji mereka. Kendati demikian Organ Tunggal juga memiliki kerentanan yang sama dengan Orkes Melayu. Di mana ketika pemain Organ kehabisan kontrak kerja, maka keberadaan Organ Tunggal tersebut juga berhenti.
Sementara itu di Taiwan juga terdapat biduanita, seperti: Eny Moresta, Ambar Oti, Nia, dan lain sebagainya. Menjadi biduanita juga menjadi hal yang menarik dibahas, di mana mereka yang notabene pekerja baik sebagai pramuwisma ataupun pekerja pabrik tidak memiliki waktu yang leluasa. Bagi mereka yang telah memiliki pengalaman panggung, maka akan lebih menguasai panggung; tetapi bagi mereka yang baru menjajal, maka pengelolaan waktu menjadi sangat penting. Alhasil mereka harus menyempatkan waktu lebih untuk belajar menyanyi, baik ketika bekerja ataupun ketika beristirahat di rumah. Soal latihan, tidak jarang jika mereka tidak memiliki waktu untuk melakukannya. Hal ini membuat pentas kerap terjadi tanpa latihan yang teratur dan terstruktur. Soal bagaimana hasil pentas, saya rasa formulasi gayeng atau meriah adalah format yang paling cocok melihatnya. Tidak hanya soal waktu, mereka juga harus mengorbankan uang mereka untuk keperluan panggung, seperti membeli kostum yang cocok, tata rias yang sesuai, dan lain sebagainya. Tetap ada hal yang perlu dikorbankan jika menjadi biduanita, mau tidak mau. Sementara soal kerentanan, biduanita memiliki tingkat kerentanan ganda, di mana kerentanan tidak hanya soal usia bernyanyi yang akan usai setelah kontrak kerja habis, tetapi juga antisipasi dari sikap genit penonton. Namun dari penuturan Nia salah seorang biduanita di Taiwan, para penyanyi sudah mengetahui gerak-gerik penonton yang akan mengganggu atau tidak.(註6) Hal ini kiranya yang sedikit banyak membantu mereka mengantisipasi kemungkinan terburuk. Walau hal yang terburuk bisa saja terjadi.
Bertolok dari ketiga aktor intelektual dangdut di atas, kita dapat melihat jika mereka memiliki kerentanan yang besar di sela kemapanan panggung dangdut. Mereka seakan dapat berhitung sampai kapan mereka dapat menjadi anggota salah satu Orkes; sampai kapan mereka dapat terus bernyanyi di panggung dangdut; dan lain sebagainya. Hal ini menjadi menarik di mana mereka sudah paham masa depan sebelum masa kini dijalani. Namun saya rasa kekhawatiran itu seakan luluh lantah seiring berjalannya waktu. Apalagi ekosistem dangdut di Taiwan terbilang utuh. Di mana pekerja migran lain yang sekaligus adalah penonton mendukung keberlangsungan pentas dangdut di Taiwan. Pelbagai tanggapan (undangan) mereka dapatkan, panggung dangdut tidak pernah absen dalam mengisi waktu liburan atau hari raya mereka ketika di Taiwan. Tidak hanya itu, juga muncul pelbagai tempat, seperti cafe, restoran siap saji khas Indonesia, atau toko yang menjual barang-barang dari Indonesia yang tidak jenuh memutar musik dangdut, bahkan menyediakan ruang karaoke. Alhasil saya mengartikan jika dangdut di Taiwan memiliki support system yang positif. Hal itu yang kiranya membuat para pekerja migran untuk terus bertahan menampilkan, menyaksikan, dan merayakan kebertahanan dengan jalan dangdut.
Selain ekosistem, resiliensi (kebertahanan) itu turut terejawantah dari lagu yang dibuat oleh mereka para pekerja. Pasalnya lagu-lagu tersebut bukan hanya sebatas nostalgia, melainkan ekspresi para perantauan yang penting untuk ditatap. Jika dari data yang dijalin dari Trans/Voices Project Indonesia –Taiwan dan The Cultural Taiwan Foundation, saya melihat ada sekitar 25 lagu dangdut yang tercipta dengan tema cinta, hidup, dan pertobatan. Untuk tema cinta, hampir dominasi lagu yang dibuat mengenai tentang cinta, baik mengenai patah hati, perselingkuhan, janji yang tidak ditepati, cinta jarak jauh, mantan kekasih, kekasih baru, batal menikah karena weton, cinta yang tidak serius, rasa rindu yang tak berkesudahan, kesetiaan untuk istri, dan lain sebagainya. Sementara itu, terdapat tema tentang pertobatan yang sebenarnya masih dalam koridor cinta, tetapi diceritakan jika ia tidak lagi mau berbuat maksiat dengan berpacaran. Persis dengan gerakan dari salah satu agama di Indonesia belakangan ini. Sedangkan tema yang tersisa yakni mengenai kehidupan, lebih tepatnya cerita mengenai Taiwan sebagai jalan hidup. Hal yang tidak kalah menarik, tiada ketentuan tegas akan bahasa yang digunakan. Ada beberapa lagu dengan bahasa Jawa, tetapi ada beberapa lagu dengan bahasa lainnya, seperti Banyuwangian, Sunda, bahasa Indonesia, ataupun campuran. Bagi saya, pilihan bahasa yang digunakan juga bukan sekadar bahasa, melainkan sebagai sebuah pernyataan “kedirian”.
Alhasil dari tema dan bahasa yang digunakan, saya percaya jika lagu-lagu tersebut adalah wujud manifestasi dari curahan hati dan ekspresi mereka—yang notabene Pekerja Migran Indonesia. Kendati demikian, saya paham jika tidak semua lagu dapat mewakili semua Pekerja Migran Indonesia, tetapi setidaknya dari lagu tersebut dapat menunjukkan secuil cerita dari apa yang dialami para pekerja di perantauan. Cerita akan bagaimana mereka bertahan demi sanak famili, dan apa yang mereka perjuangkan. Di sisi lain, saya cukup senang di mana dangdut menjadi medium yang mereka percaya untuk mengungkapkan perasaan. Dengan begitu ini menjadi bukti jika musik bukan sekadar bunyi, melainkan ruang bersuara dan menyuarakan sesuatu.
Taiwan Menerobos Batas Teritorial Dangdut
Alasan mengapa Taiwan menjadi salah satu situs penting untuk dangdut—baik dari keberadaan dan kajian—adalah soal menerobos teritorial. Hal ini menjadi baku dan kaku jika di Indonesia. Di mana setiap daerah memiliki jenis dangdutnya sendiri, seperti: Dangdut Saluang di Sumatera Barat, Dangdut Melayu di Riau, House Dangdut di Lampung, Dangdut Klasik di Jakarta, Dangdut Tarling dan PongDut di Jawa Barat, Dangdut Koplo di Jawa Timur, JanDhut di Nganjuk, Dangdut Banyuwangian di Banyuwangi, Dangdut Madura di Madura, Dangdut Banjar di Kalimantan (lihat Weintraub, 2010:202; Raditya, 2020:12). Hal ini disebut sebagai Dangdut Daerah, dangdut yang konon berkembang setelah runtuhnya Orde Baru. Namun hal yang perlu diketahui, perlintasan dangdut daerah tidak dapat berlangsung antar daerah tersebut—jika berlangsung pun tidak berjalan mulus. Semisal Orkes Dangdut Saluang di Banyuwangi, dan sebaliknya. Singkat kata, persilangan dangdut di satu tempat menjadi sulit dilakukan.
Namun itu semua menjadi berbeda ketika saya mengintip dangdut di Taiwan.(註7) Di mana seorang pekerja migran di Taipei atau di Taichung bisa menjumpai Dangdut Banyuwangi, Dangdut Tarling, Dangdut a la Rhoma Irama, hingga Dangdut Koplo. Tentu kata menjumpai bukan sebatas orang mendengarkan musik melalui telepon genggam atau berkaraoke di satu tempat, melainkan dapat menyaksikan langsung pertunjukannya. Mereka dapat mengakses langsung bagaimana panggung dan ambience yang terbangun selama pentas berlangsung. Jujur saja hal ini agak sulit dilakukan di Indonesia, bahkan Jakarta sekalipun. Jakarta menjadi lokasi yang tidak sepenuhnya bebas nilai, melainkan terdapat nilai entitas yang lebih mendominasi, semisal Betawi ataupun industri musik Jakarta. Pun belum lagi agenda keindonesiaan yang harus direpresentasikan di ibu kota. Sedangkan di daerah, dominasi entitas tertentu menjadi penyebab bagaimana perlintasan tersebut tidak terjalin. Singkat kata, daerah ataupun ibu kota sama-sama sulit untuk mewujudkan perlintasan jenis dangdut.
Di Taiwan perlintasan itu justru berlangsung dengan organik, tidak disengaja oleh invisible hand yang sudah barang tentu Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Mengapa demikian? Pasalnya semua pekerja migran di Taiwan adalah pendatang. Sebesar-besarnya kuantitas entitas tertentu, mereka tetap berstatus pendatang dan pekerja. Mereka sama-sama berstatus pekerja dengan masa kontrak tertentu. Jika masa kontrak usai, sudah barang tentu pekerja kembali ke asal. Selain itu, kelompok pekerja pun tidak berasal dari satu daerah, melainkan dari beberapa daerah. Hal ini turut diartikulasikan oleh Yogi yang tinggal di sebuah Mes dengan tetangga yang beragam suku dan asal.(註8) Dari sinilah pertemuan dan perlintasan dapat terjalin. Sesederhana satu sama lain ingin mendengarkan musik mereka masing-masing, hingga saling mendengarkan satu sama lain. Perlintasan ini pun juga terjadi karena beberapa komunitas berbasis kedaerahan berada pada satu daerah yang sama, sehingga perlintasan akan semakin jelas dan terlihat.
Tidak hanya soal tempat tinggal, kedinamisan ini juga terjadi pada Orkes Melayu Ramesta di Taiwan, di mana menjadi mungkin dengan pergantian beberapa pemain dari etnis yang berbeda, Yanu mengungkapkan jika generasi pertama pemain orkes didominasi oleh orang Jawa Tengah. Oleh karena kontrak habis, beberapa pemain diganti oleh pekerja dari Blitar, Jawa Timur. Kontrak kembali habis dan pemain kembali berganti ke pekerja dari Jawa Tengah, sebelum diganti kembali dengan pemain dari Trenggalek, Jawa Timur.(註9) Hal ini tentu menarik, di mana pemain Orkes Melayu daerah di Indonesia acap kali berasal dari satu daerah yang sama, tetapi berbeda ketika di Taiwan di mana Orkes Melayu teregenerasi dengan latar belakang asal pemain yang lebih inklusif. Hal yang menarik, perlintasan antar daerah turut terjadi di badan sebuah orkes. Hal ini mengakibatkan Orkes Melayu lebih cair dalam menentukan referensi musikal, tidak terkekang akan satu gaya saja. Alhasil referensi musikal yang diacu lazimnya berdasarkan mana yang telah dan tengah populer.
Terlihatnya perlintasan juga dapat dilihat dari produk penciptaan lagu oleh para pekerja. Di mana terdapat Dangdut Tarling, Dangdut Banyuwangi, Dangdut Pop, Dangdut Klasik, bahkan Dangdut Koplo yang muncul pada satu daerah yang sama. Alhasil di satu daerah bernama Taipei atau Taichung kita bisa mengalami dangdut yang tidak tunggal. Atas dasar itulah saya menyebut jika dangdut di Taiwan menerobos batas kaku teritorial dangdut. Pasalnya, walau bermula dari kerentanan, dangdut yang kaku dan baku di Indonesia justru cair pada tempat yang ahistoris dangdut seperti Taiwan. Lantas apa manfaat dari perlintasan ini? Tentu saya tidak muluk-muluk menyebut akan adanya dangdut baru dari Taiwan, Saya justru melihat perlintasan ini menjadi situs penting akan bagaimana dangdut hidup dan bertumbuh pada konteks masyarakat yang sudah barang tentu berubah. Pasalnya dari perlintasan ini, Saya percaya jika dangdut yang berbeda dan dibedakan bukan menjadi kendala untuk mereka. Karena, asalkan semua bisa goyang, itu sudah cukup membuktikan jika mereka mengartikan dangdut tidak sebatas genre, melainkan dangdut sebagai bahasa yang dapat mengungkap suara mereka.
Suara perantauan. Panjang umur dangdut di Taiwan!
Referensi
Michael HB Raditya Michael HB Raditya, seorang peneliti, penulis, dan kritikus yang mempunyai perhatian lebih pada kajian musik, performance studies, dan seni-budaya. Ia lulus dari Universitas Gadjah Mada dari Antropologi Budaya pada Strata 1 dan Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa pada Strata 2. Ia bekerja di Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana UGM sejak tahun 2017. Ia juga menjadi peneliti di LARAS – Studies of Music in Society (laras.or.id) dan founder Pusat Kajian Dangdut (www.dangdutstudies.com). Ia telah menerbitkan dua buku, yakni: Merangkai Ingatan Mencipta Peristiwa: Sejumlah Kritik Seni Pertunjukan (2018) dan OM Wawes: Babat Alas Dangdut Anyar (2020). Tulisan terbarunya adalah “The Popularisation and Contestation of Dangdut Koplo in the Indonesian Music Industry” pada buku “Made in Nusantara: Studies in Popular Music” yang diterbitkan oleh Routledge tahun 2021.